Mengapa Kasus Cerai Tinggi?

Mengapa Kasus Cerai Tinggi?

Angka perceraian di Kabupaten Cirebon juga tergolong tinggi. Sepanjang tahun 2018, wanita yang resmi menyandang status janda, jumlahnya 8.244 orang. Faktor ekonomi, masih menjadi alasan dominan.       Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama (PA) Sumber, Opi Sulaiman (53), membeberkan, pasangan yang memilih berpisah dengan alasan ekonomi, lebih dari 90 persen. Sementara 10 persen sisanya, alasan lain seperti adanya pihak ketiga atau KDRT. Sementara, angka perceraian di Kota Cirebon sepanjang tahun lalu, 2018, mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang diperoleh Radar Cirebon, kasus perceraian didominasi alasan ekonomi, perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga. Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama (PA) Kelas 1B Cirebon, Moch Suyana mengungkapkan, selama 2018 tercatat ada 1.066 perkara yang masuk. Dari jumlah tersebut, 983 perkara di antaranya terkait gugatan perceraian. Di Kabupaten Majalengka, angka perceraian mencapai 5.300 kasus. Bupati Karna Sobahi pun menyatakan keprihatinannya atas tingginya kasus perceraian tersebut. “Berdasarkan data Pengadilan Agama, jumlah angka penceraian di Kabupaten Majalengka tahun 2017 sebanyak 4. 982 dan pada tahun 2018 mencapai 5.300 kasus penceraian. Angka ini lebih tinggi dari Kuningan yang mencapai 5100,” beber Karna pada suatu kesempatan. Sedangkan, kasus perceraian di Kabupaten Indramayu masih tinggi. Sepanjang tahun 2018, tercatat ada 7.776 kasus perceraian. Dari kasus tersebut, pengajuan perceraian lebih banyak dilakukan oleh pihak istri (perempuan). radarcirebon.com mencatat faktor kegagalan rumah tangga memang kompleks. Rentetan alasan lain yang berefek domino pun mendasari berakhirnya rumah tangga seseorang. krisis akhlak, faktor ekonomi, ketiadaan sikap bertanggung jawab, kurangnya keharmonisan, alasan politis, kekejaman jasmani dan mental, gangguan pihak ketiga, pernikahan di bawah umur,pelangsungan kawin paksa, kondisi cacat biologis, serta kecemburuan menjadi daftar penyebab perceraian menurut data Badan Peradilan Agama (Badilag) Indonesia. Hal lain yang juga dianggap memicu keinginan bercerai perempuan di Indonesia adalah derasnya arus informasi yang mengampanyekan kesadaran untuk meraih hak-hak mereka. Pada 2009, BBC mewartakan, seiring dengan terbukanya peluang mengakses pendidikan dan bekerja, sebagian perempuan kian mungkin untuk menjadi independen secara finansial. Akses ke pendidikan dan informasi di era digital ini kemudian dapat membuat mata mereka terbuka melihat kondisi-kondisi represif yang didasari budaya patriarkal. Saat berada dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi mereka, bukan mustahil bagi para perempuan ini mengambil keputusan besar untuk mengakhiri rumah tangga mereka, apa pun konsekuensinya. Mereka yang mapan secara finansial lebih memilih menjanda dibanding mesti terkungkung dalam rumah tangga yang tidak harmonis. Menariknya, menurut pihak Kementerian Agama, sebagian pasangan memutuskan bercerai karena adanya perbedaan pandangan politik. Ini mengindikasikan bahwa kondisi melek politik yang disokong edukasi pun mengambil andil terhadap masa depan rumah tangga seseorang. Penolakan poligami bagi sebagian perempuan yang menggugat cerai juga dapat disebabkan oleh alasan-alasan lain seperti dicantumkan Badilag. Kecemburuan, perasaan diperlakukan tidak adil secara ekonomi, atau ketiadaan sikap bertanggung jawab dapat menjadi latar yang melekat dengan alasan poligami tidak sehat. Di samping itu, kesadaran untuk menolak poligami yang disisipkan dalam gerakan-gerakan feminisme dapat pula mendukung pilihan perempuan untuk menceraikan suami yang berniat menikah lagi. Faktor kematangan psikologis dan finansial memengaruhi kegagalan rumah tangga yang dimulai pada usia muda. Pasangan muda sering kali mengatakan masalah keuangan, pola berkomunikasi, kurangnya komitmen, serta kekerasan fisik dan emosi menjadi alasan-alasan mereka untuk bercerai. Memang kedewasaan tak melulu diukur dengan umur. Kendati demikian, tak dapat dimungkiri pula bahwa sikap impulsif atau keinginan besar untuk meraih cita-cita adalah hal-hal yang lumrah dialami anak-anak muda yang menikah. Ini bisa menciptakan konflik ketika bertabrakan dengan urusan rumah tangga terkait mengurus anak atau mengatur biaya hidup yang tentunya bukan perkara sepele. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: